Penyakit anthrax atau radang limpa merupakan penyakit bakterial penting yang menyerang hampir semua hewan termasuk kambing. Penyakit ini bersifat zoonosis, yaitu penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya.
Agen penyebab penyakit ini adalah Bacillus anthracis yang bersifat gram positif, berbentuk batang, tidak bergerak dan membentuk spora. Spora ini dengan cepat akan terus menyebar melalui angin dan air hujan. Ternak dapat terinfeksi apabila memakan pakan atau meminum air yang terkontaminasi spora tersebut atau jika spora mengenai bagian tubuh yang luka. Ternak penderita dapat menulari ternak yang lain melalui cairan (eksudat) yang keluar dari tubuhnya. Cairan ini kemudian mencemari tanah sekelilingnya dan dapat menjadi sumber untuk munculnya kembali wabah di masa berikutnya. Spora bakteri B. anthracis dilaporkan mampu bertahan sampai puluhan tahun di tanah dan hanya mati oleh pemanasan pada temperatur 100oC selama 20 menit atau pemanasan kering 140oC selama 30 menit.
Penyakit anthrax pada kambing paling banyak bersifat per akut atau akut. Pada kejadian per akut, kambing yang semula sehat mendadak jatuh, sesak nafas, gemetar, kejang lalu mati dalam waktu beberapa menit/jam akibat pendarahan di otak. Pada kejadian akut, ditandai dengan demam yang tinggi (41,5oC), gelisah, depresi, sukar bernafas, detak jantung cepat tetapi lemah, selaput lendir mulut serta mata menjadi merah tua dan akhirnya mati. Kadang–kadang juga terjadi diare berdarah dan air seninya berwarna merah atau berdarah. Pada bangkai hewan yang terkena anthrax sering terlihat adanya darah yang keluar dari lubang-lubang seperti mulut, telinga hidung, dan anus. Darah tidak membeku dan biasanya limpa membesar berwarna merah kehitaman.
Bangkai ternak yang dicurigai menderita anthrax tidak dianjurkan untuk dibuka (bedah bangkai). Balai Penelitian Veteriner (BALITVET) telah mengembangkan tehnik diagnosis secara serologis, yaitu Ascoli test atau ELISA. Hewan/spesimen anthrax yang telah busuk maupun yang telah dikeringkan bertahun-tahun dilaporkan masih mampu memberikan hasil yang positif pada uji Ascoli.
Teknologi pengendalian penyakit anthrax dapat dilakukan dengan memberikan vaksinasi pada ternak yang belum terinfeksi. BALITVET telah berhasil membuat vaksin tersebut dan pernah memproduksinya tetapi saat ini, teknologi tersebut telah dialihkan ke PUSVETMA Surabaya. PT Vaksindo juga telah memproduksi vaksin sejenis.
Ternak yang terjangkit anthrax dapat diobati dengan preparat antibiotika tetrasiklin atau penisillin dosis tinggi selama 5 hari berturut-turut, tetapi biasanya pengobatan pada keadaan hewan sekarat kurang efektif. Selain preparat tersebut, antibiotika enrofloxacin, neomycin, navobicin, klorampenikol dan kanamycin juga mampu membunuh bakteri anthrax. Pengobatan anthrax viseral dapat dilakukan dengan penisilin G 18-24 juta IU per hari secara intra vena ditambah dengan 1 gram tetrasikin per hari. Pengobatan anthrax nafas hampir sama dengan yang viseral tetapi ditambah streptomicin 1-2 gram/hari sedangkan pengobatan anthrax kulit dapat dilakukan dengan suntikan prokain berdosis 2 x 1,2 juta IU secara intra muskular selama 5-7 hari atau dengan benzyl penilisin berdosis 250.000 IU setiap 6 jam.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penanganan ternak pasca mati. Bagi ternak yang sudah mati harus dibakar atau diberi desinfektan kemudian dikubur. Bangkai yang sudah terlanjur dikubur, tanahnya dibuka kembali. Tanah galian diberi desinfektan dan kapur serta bangkainya dibakar, lalu kuburan ditutup lagi. Ternak yang mati dicegah agar tidak dimakan oleh hewan pemakan bangkai guna mencegah penyebaran yang lebih luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar